Aku melirik jam weker di sebelah bed lamp.  Jarum jam menunjukkan pukul enam pagi. Aku meregangkan otot-ototku yang  masih terasa kaku. Aku gerakkan punggungku ke kiri dan kanan untuk  membebaskanku bergerak. Hari ini, aku harus sesegera mungkin berangkat  ke kantor, atasanku ingin menemuiku. Aku heran mengapa hanya aku saja  yang disuruh menemuinya, rekan kantorku yang lain tidak.
             Dengan malas aku melangkahkan kakiku menuju ruang tengah. Terdengar  suara seorang wanita sedang bernyanyi di dapur. Angel. Istriku yang  tengah hamil enam bulan sedang membuat sarapan untukku. Perlahan aku  menghampirinya. Aku memeluknya dari belakang ketika ia mengocok telur.
            “Lagi masak apa?” tanyaku sambil mencumi pipinya.
            “Ini, aku bikin telur dadar buat kamu, sayang.” Jawabnya sambil terus menggerakkan tangannya yang lincah.
            “Oya, semalam ayah kamu telepon, sepertinya dia ingin bicara dengan kamu.” Tambah istriku memulai pembicaraan.
            “Kapan? Kok aku gak tahu?” balasku.
             “Semalam, setelah kamu pulang dari kantor. Ketika aku bilang kamu lagi  tidur , ayah kamu mengurungkan niatnya buat ngomong sama kamu, lagian  beliau kan tahu kalo kamu lagi tidur, gak mau diganggu, susah dibangunin  lagi,” jawabku istriku.
            “Ya, biar aku telepon nanti, mungkin Ayah Cuma ingin tahu kabarku di Bandung,”
*** 
             Namaku Johan, usiaku saat ini 29 tahun. Di usiaku yang masih muda ini,  boleh di bilang aku termasuk pemuda yang beruntung. Aku bekerja di salah  satu kantor keuangan di Bandung sebagai akuntan. Di antara semua  karyawan yang ada di kantor, aku adalah anak kesayangan atasanku. Ia  sering memberiku gaji tambahan karena aku biasa mengerjakan pekerjaan  tepat waktu dan boleh dibilang memuaskan daripada karyawan yang lainnya.  Kesuksesan ini tidak aku dapatkan secara instan dan mudah seperti  membalikkan telapak tangan. Aku masih begitu ingat, betapa semangatnya  ayahku yang bekerja sebagai cleaning service untuk membiayaiku sekolah meski aku tahu, penghasil ayah saja pas-pasan untuk makan sehari-hari.
            “Yah, aku mau berhenti sekolah saja,” jawabku suatu ketika, saat aku duduk di bangku kelas dua SMA.
            “Untuk apa?” tanyanya sambil melirikku dengan tatapan kurang setuju.
            “Aku tidak mau Ayah terbebani dengan biaya sekolahku,”
             Ayahku tersenyum, “Kamu gak usah mikir biaya sekolah kamu, itu urusan  Ayah. Kalau kamu berhenti sekolah, sama saja kamu mematahkan semangat  Ayah. Ayah tidak mau kamu nantinya seperti Ayah yang hanya tamatan SD  ini,” 
            “Iya, Yah. Tapi, apa Ayah masih sanggup membiayai sekolahku?”
             Ayah mengeluarkan dompet dari kantong celananya, dompet yang lusuh,  robek di sana-sini, “Biar dompet Ayah ini sudah tidak layak pakai  seperti ini, tapi bisa membiayai kamu sekolah. Ayah akan melakukan apa  saja untuk bisa menyekolahkanmu, karena Ayah ingin kamu sukses,”  jawabnya sambil menunjukkan dompet lusuh itu padaku, anak satu-satunya.
             Aku tersenyum lebar, “Terima kasih, Yah! Nanti, kalau aku sukses, pasti  aku ganti dompet Ayah yang lusuh itu dengan yang lebih bagus,” jawabku.
***
             Telepon genggamku berdering keras ketika aku tengah sibuk menyelesaikan  pekerjaanku. Aku yang sedang meyusun laporan keuangan perusahaan – yang  harus diselesaikan dengan segera – menghentikan aktivitasku sejenak.  Aku merogoh telepon genggam di saku celanaku. Ku lihat di layar,  tertulis nama Ayah sedang menelponku.
            “Halo, Yah!” jawabku segera.
            “Halo, Joe! Sedang apa?” tanyanya.
            “Ini nih, aku lagi sibuk nyusun laporan keuangan, mesti diselesaikan hari ini, Yah! Ada apa, Yah? ” tanyaku.
“Tidak apa-apa, Ayah hanya sekedar ingin ngobrol saja,” 
“Oh, jangan sekarang ya, Yah! Nanti Johan telepon lagi! Pasti Johan telepon,” janjiku.
“Baiklah,” jawab Ayahku.
***
Jam  sepuluh malam, aku baru tiba di rumah. Dengan pikiran yang lelah, aku  memasuki rumah. Aku baru pulang dari kantor. Ketika jam kerja sudah  habis, aku masih harus menghadiri meeting, menemani atasanku.  Istriku menyambut, ia langsung meraih tasku dan membawanya ke kamar. Aku  menghempaskan tubuhku di sofa ruang tamu, melepaskan lelah yang tengah  menghampiriku. Aku merogoh kantong celanaku. Aku raih telepon genggamku  yang sengaja aku nonaktifkan saat meeting. Aku berniat mengaktifkannya  namun aku urungkan.
“Kenapa baru pulang jam segini?” Tanya istriku sambil duduk di sebelahku. Ia menyandarkan kepalanya tepat di dadaku.
“Aku habis dari meeting, Pak Robi mengajakku bertemu dengan client-nya.” Jawabku sambil membelai rambut istriku.
“O ya, tadi aku sama temen aku beli ini,” tiba-tiba istriku bangkit dan mengambil sesuatu dari plastik putih yang ada di meja.
“Apa ini?” tanyaku sambil membukanya.
“Sebulan  yang lalu, kamu kan pernah bilang kalo kamu pengen beliin dompet itu  buat Ayahmu, ya udah, tadi mumpung lagi ada uang lebih aku beliin,”
“Terima kasih, sayang!” ucapku sambil mengecup keningnya.
Istriku  memang sangat perhatian, bukan hanya denganku tapi, dengan anggota  keluargaku. Aku ingat benar, betapa tulusnya ia menerima keluargaku yang  berasal dari kalangan ‘kurang mampu’. Aku masih ingat, betapa ia tidak  mempedulikan statusku. Bukan hanya aku yang senang padanya, anggota  keluarga begitu senang terhadap sikap baik Angel. Seperti hari ini, dia  membelikan dompet yang ingin aku berikan untuk hadiah ulang tahun  Ayahku. Sudah lama aku ingin membelikannya dompet itu untuk ayah, tapi  aku selalu saja mengurungkan niatku itu, karena masih ada hal lain yang  harus aku penuhi.
***
“Ayah,”  panggilku dari kejauhan ketika kulihat Ayahku sedang berdiri di sebuah  pintu yang begitu terang. Entahlah dimana aku tidak tahu.
Ayahku hanya menoleh padaku, dia tersenyum, kemudian kembali memandang pintu itu lagi.
“Ayah,” panggilku lagi. Ayahku melakukan hal yang sama seperti sebelumnya. 
Aku mendekatinya. Matanya terlihat cerah di usianya yang beranjak 65 tahun. Aku melihat wajahnya berseri-seri.
“Ayah, selamat ulang tahun, ini untukmu,” kataku sambil memberikan dompet yang dibelikan istriku.
Ayahku tersenyum menerimanya. Ia terlihat begitu beda.
“Terima kasih anakku,” jawabnya pendek.
Aku  tersenyum membalasnya. Lalu, ayahku kembali memandang cahaya terang  yang ada di hadapannya. Ia berjalan seolah mengabaikan aku yang ada di  dekatnya. 
Aku  terus memanggilnya, “Ayah, mau ke mana? Ayah…. Ayah… Ayah… mau ke  mana?” panggilku. Aku berlari mengejarnya, namun sia-sia sepertinya ia  tak mendengarku.
***
Jam tiga pagi, Angel terbangun ketika mendengar suaminya sedang menggigau. 
“Sayang,  bangun! Sayang!” ucap Angel membangunkan suaminya yang tengah menggigau  menyebut Ayahnya. Keringat bercucuran dari dahinya. Dada suaminya basah  berkeringat. Angel bingung harus melakukan apa.
“Ayah!” seru Johan kemudian tersadar dari tidurnya dengan nafas yang terengah-engah.
“Sayang, kamu kenapa?” Tanya Angel panic.
Johan  tak menjawab. Ia mencoba mengontrol nafasnya yang masih naik turun,  terengah-engah seperti habis lari. Angel beranjak dari tempat tidur dan  mengambilkan segelas air putih untuk suaminya itu.
“Minum dulu,” ucap Angel yang masih diliputi kebingungan.
“Mana handphone-ku,” kata Johan setelah meneguk air putih samba mencari handphone-nya.
“Ini, sayang!” Angel meraih handphone yang berada di dekat bed lamp dan memberikannya pada Johan.
“Kamu kenapa?” Tanya Angel yang masih penasaran dengan kejadian yang baru saja dialami oleh Johan.
“Aku mimpi Ayah,” jawabnya pendek sambil berusaha mengaktifkan handphone yang dimatikannya sejak ia meeting.
Terlihat  beberapa pesan masuk di layar. Johan mengabaikannya. Ia sesegera  mungkin mengontak Ayahnya. Johan baru ingat, kemarin ia berjanji untuk  menelepon Ayahnya tapi, diingkarinya. Lama Johan menunggu teleponnya  tersembung tapi, tak ada yang mengangkat teleponnya. Johan kemudian  membuka beberapa pesan masuk di handphone-nya. Beberapa pesan masuk itu  dari Angel, teman Johan dan Ayah! Tanpa piker panjang, Johan langsung  membuka satu persatu pesan dari Ayahnya tersebut.
Sms pertama, “Nak, kapan pulang? Ayah ingin bertemu, sudah hampir dua tahun ini tidak pulang.”
Sms kedua, “Johan, Ayah masih menunggu teleponmu, aku ingin tahu kabar kehamilan istrimu,”
Sms ketiga,”Johan, kenapa HP mu tidak bisa dihibungi? Kamu marah sama Ayah?”
Sms ketiga, “Johan, ayah kamu masuk rumah sakit lagi. Jantungnya kembali bermasalah, ibu butuh bantuanmu, pulanglah… ayahmu ingin bertemu.”
Sms keempat, “Johan, innalillah… ayahmu meninggal, pulanglah….”
Betapa  terkejutnya Johan membaca pesan terakhir yang masuk sekitar empat jam  yang lalu itu. Ia benar-benar kaget dan tak percaya ketika membacanya.  Ia meremas rambutnya. Air matanya tak kuasa ia tahan lagi. Ia menangis  menerima kabar kematian Ayahnya itu.
“Ada apa sayang?” Tanya Angel panic.
“Aku menyesal, Ngel! Harusnya kemarin aku telepon Ayah,” ucap Johan dengan suara yang bergetar.
“Ada apa?” angel bertanya semakin tidak mengerti.
“Ayah meninggal,” jawab Johan pendek.
***
Aku  berjalan dengan putus asa menyusuri pemakaman umum tempat Ayahku  dimakamkan. Dengan pakaian serba hitam, aku menuju makam Ayahku. Ayahku  meninggal karena serangan jantungnya. Harusnya, aku berada di sampingnya  saat-saat terakhir ia membuka matanya tapi, aku justru tidak bisa  melihatnya untuk yang terakhir kalinya. Ya Allah… kenapa harus begini?
Aku  tak henti-hentinya menangis di depan makam Ayahku. Lama. Istriku juga  begitu, ia juga trelihat sangat berduka dengan kepergian Ayahku.  Sesekali aku menciumi batu nisan Ayahku. Aku ingin sekali mencium  pipinya. Tapi semua telah terlambat. Hal itu hanya memuat penyesalan di  dadaku semakin berat.
“Harusnya aku ada di sampingnya saat ia menghembuskan nafas terakhir kalinya,” ucapku dengan suara bergetar.
“Sayang, sudahlah, kita ikhlaskan kepergiannya,” sahut istriku.
“Ayah,  maafkan Johan, Johan sering mengabaikan Ayah dengan pekerjaanku. Tadi,  aku lihat di kantong Ayah masih ada dompet lusuh yang berhasil membuat  Johan sukses seperti sekarang. Heh… rupanya Ayah masih memakainya. Yah,  menantumu membelikan dompet baru untukmu, harusnya aku bisa  memberikannya saat ulang tahun Ayah dua bulan yang lalu. Ayah, aku  menyesal tidak melakukan itu. Harusnya Ayah bisa menerimanya saat ulang  tahun Ayah,” kataku dalam hati, merenungi apa yang telah aku lakukan  selama ini. Menyesal. Aku benar-benar menyesal kini.
Sumber : http://anekaremaja.blogspot.com/2011/11/cerpen-sedih-ayah-selamat-ulang-tahun.html